Soe Hok Gie, Potret Mahasiswa Idealis Era 60-an

Di era tahun 1960-an menjadi salah satu sejarah bagi negara Indonesia yang perlu diketahui. Selain sejarah masuknya PKI, ada satu peristiwa penting bagi sejarah Indonesia, yaitu tumbangnya rezim orde lama. Meskipun dalam sejarah lebih banyak tercatat sosok Arif Rahman Hakim (seorang mahasiswa UI yang tertembak mati saat demontrasi Tritura), ternyata ada satu mahasiswa lagi yang berperan penting dalam keruntuhan rezim Soekarno saat itu.

Sumber gambar: profesi-pnm.com


Soe Hok Gie

Merupakan seorang warga keturunan Cina. Kakek buyut Soe Hok Gie tiba di Batavia sekitar tahun 1870-an dan merupakan seorang imigran yang miskin.

Soe Hok Gie merupakan anak keempat dari Soe Lie Piet dan Nio Hoei An (Maria Sugiri). Kakak yang ketiga bernama Soe Hoek Djin (Arief Budiman) yang hanya beda hampir 2 tahun dengan Soe Hoek Gie yang lahir tanggal 17 Desember 1942.

Keluarga Soe Hoek Gie bukan merupakan keluarga yang kaya dan mendiami kawasan Kebon Jeruk, Jakarta yang merupakan kawasan kumuh yang memiliki jalan sempit dan banyak becak berlalu lalang.

Soe Hok Gie, Suka Membaca Sejak Kecil

Soe Hok Gie merupakan sosok yang suka membaca sejak kecil. Minatnya yang besar terhadap berbagai macam buku membuatnya berpikir kritis dan cukup cerdas. Hal ini bisa dibuktikan dengan nilai yang diperoleh Gie saat duduk di bangku sekolah.

Nah, bagi yang ingin seperti Gie cocok nih jika ikutan #ReadingChallengeODOP yang akan membantu meningkatkan kemampuan membaca. 

Meskipun memiliki banyak pengetahuan yang diperolehnya dari buku, sifat memberontak Gie sudah terlihat sejak duduk di bangku sekolah. Dimana saat itu guru menjadi orang yang harus dihormati dan memiliki hak prerogatif terhadap nilai siswanya.

Seorang yang Kritis dan Idealis

Pemikiran kritis Soe Hok Gie berlanjut hingga dirinya dewasa dan masuk ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Gie memiliki pemikiran yang kritis terhadap pemerintahan Soekarno.

Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis.
Saya sudah memutuskan untuk menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.
(Soe Hok Gie)

Pemikirannya yang kritis dan selalu menyoroti pemerintahan Soekarno menjadikan Gie memiliki pemikiran yang kurang setuju dengan jalan politik yang dipilih Soekarno. 

Gie menyoroti kehidupan rakyat yang berada di sekitarnya. Dimana rakyat yang kaya semakin kaya, dan yang miskin menjadi semakin miskin dan hidup nestapa. Pergolakan batin yang dirasakan Gie inilah yang membuatnya selalu bertanya dan berjuang untuk kemakmuran rakyat.

Gie menjadi salah satu aktivis mahasiswa yang selalu menyuarakan pemikiran kritisnya untuk menggulingkan pemerintahan orde lama. Menurut Gie, saat pemerintahan orde lama inilah banyak terjadi penyelewengan kekuasaan, dimana banyak terjadi korupsi, sikap kediktatoran Soekarno, hingga penindasan hak rakyat.

Meskipun begitu, Soe Hok Gie mampu memisahkan kepribadian Soekarno yang gila wanita dengan kepemimpinan Soekarno yang tidak pro rakyat. Gie menganggap bahwa seorang wanita harus dihargai dan Soekarno menjadi pemimpin yang menjalani poligami dan lebih senang dengan wanita. Hal ini bisa terlihat ketika Gie mendapatkan undangan dari Soekarno untuk berdiskusi dan melihat sekretaris Soekarno yang memakai kebaya ketat dan tak pantas.

Terlebih ketika Soekarno memiliki hubungan dengan Aidit yang mulai menanamkan bibit komunis ke negara Indonesia. Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno kerap dilakukannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dibanding untuk menjilat kekuasaan.

Lebih Mencintai Alam

Meskipun Soe Hok Gie merupakan seorang yang kritis, tetapi banyaknya organisasi mahasiswa saat itu seperti PMII, HMI, ataupun PMKRI tidak membuatnya tertarik untuk bergabung. Bahkan organisasi mahasiswa seperti senat mahasiswa (sekarang Badan Eksekutif Mahasiswa/BEM) bukan menjadi organisasi yang diikutinya. Gie justru mendukung temannya, Herman untuk maju sebagai ketua senat dan Gie menjadi penasehat untuknya.

Soe Hok Gie lebih menyukai gunung. Gunung bagi Gie merupakan tempat untuk menyendiri dan sebagai seorang petualang, Gie membentuk MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) dan lebih sering bertualang mendaki gunung.

Seorang Atheis

Meskipun Soe Hok Gie menempuh pendidikan di sekolah dengan basic agama, seperti sekolah strada, sekolah Jesuit ataupun SMA Kanisius tak membuatnya percaya dengan keyakinan agama tertentu.

Memiliki Banyak Karya

Kegemarannya dengan membaca buku menjadikan dirinya kritis terhadap sebuah pemikiran yang menjadi pergolakan hatinya. Beberapa tulisan tentang kritikan terhadap pemerintahan banyak dimuat di surat kabar. Tak jarang namanya banyak dikenal di kalangan pembaca koran saat itu.

Soe Hok Gie memiliki pemikiran yang kuat dan dituangkannya dalam beberapa tulisan, seperti buku harian, puisi, surat, artikel, dan buku. Kesemua tulisan yang dicurahkan Soe Hok Gie merupakan pemikirannya terhadap kondisi rakyat saat masa tersebut.

Biarlah mereka yang ingin mendapat mobil, mendapatnya.
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu
Dan kita para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai.

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi Jang tanda tanya
Tanpa besar kita mengerti, tanpa bisa kita menawar
Terimalah dan hadapilah
(Soe Hok Gie)

Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan merupakan buku yang lahir dari buah pemikirannya. Di Bawah Lentera Merah merupakan buku karya Gie setelah menjadi sarjana dan Orang-Orang di Persimpangan Jalan Kiri merupakan karya skripsi yang dikemasnya dalam bentuk sastra.

Banyaknya artikel yang dimuat di surat kabar tak membuatnya menjadi orang yang terkenal dalam politik saat itu. Justru dari kritikan yang ditulisnya saat itu menjadikannya orang yang punya banyak musuh dibandingkan penggemar tegapnya. Meskipun begitu artikel Soe Hok Gie menjadi salah satu tonggak runtuhnya orde lama dan mulai berkuasanya orde baru.

Kisah Cinta Soe Hok Gie

Kisah cinta Soe Hok Gie tidak terlalu dijelaskan secara detail. Pemikiran tentang cinta Gie saat itu adalah sebuah nafsu belaka. Dan inilah yang tidak disukai Gie yang menganggap cinta merupakan sebuah kesoronokan. Gie berpikiran tidak menyukai seorang laki-laki yang memiliki konsep cinta yang demikian, dan inilah yang membuat Gie selalu menyoroti kehidupan istana.

Meskipun begitu, Gie pernah merasakan cinta dalam kehidupannya. Hanya saja kisah asmaranya tidak pernah berujung pada hubungan yang lebih.

Akhir Hayat Soe Hok Gie

Meskipun Soe Hok Gie memiliki andil dalam lengsernya pemerintah Soekarno dan berada di pihak Soeharto. Tetapi seiring berjalannya waktu, pemerintahan Soeharto memiliki beberapa penyelewengan yang tidak sesuai dengan hati nurani Soe Hok Gie.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
Yang kedua dilahirkan, tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua
Rasa-rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda
(Soe Hok Gie)


Hanya saja, takdir Tuhan berkata lain. Soe Hok Gie tidak mampu lagi meneruskan perjuangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Soe Hok Gie meninggal saat melakukan pendakian di Gunung Semeru. Gie mengalami kejang, menggigil, dan mengoceh tidak karuan. Ditambah lagi ketika melakukan pendakian, di malam tanggal 16 Desember 1969 kawah Gunung Semeru sedang aktif dan kelompok pendaki Gie mulai turun gunung untuk mencari perlindungan. Kondisi tersebut juga dialami oleh kawan Gie, Idham Lubis yang memiliki gejala mirip dengan Gie. Kedua sahabat tersebut berpelukan hingga kemudian meninggal terkena uap dan gas beracun. Gie meninggal dunia sebelum dia merayakan ulang tahunnya ke-27 di puncak Semeru.



Buku ini yang menjadi bacaan saya ketika mengikuti program #onedayonepost di #tugaslevel2 #level2tantangan2. Buku ini bisa dipinjam secara gratis di ipusnas.

1 komentar