Ada Apa Dibalik Korupsi?




Setiap harinya seringkali kita melihat pemberitaan mengenai kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di berbagai acara berita nasional maupun surat kabar. Miris memang. 

Dilansir dari website CNN awal tahun ini, Indonesia menduduki peringkat 85 dari 160 negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 40. Sedangkan untuk level negara-negara ASEAN, setelah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Penafsiran skor IPK ini ditentukan bahwa semakin tinggi skornya, maka semakin bersih negaranya dari korupsi.

Lalu, mengapa korupsi ini bisa terjadi? Apakah sudah menjadi budaya di Indonesia ataukah memang sistem yang mengharuskan seperti itu?

Kita lihat saja saat ada pemilihan umum, baik pilkada maupun pilpres. Money politic masih menjadi tren dan masih ditunggu masyarakat untuk bisa meraup cuan dari para calonnya. Pun begitu juga untuk menjadi perangkat desa. Bahkan ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk membayar sejumlah uang (sekitar ratusan juta) untuk bisa menjabat menjadi perangkat tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi pada dunia pemerintahan saja, bahkan di dalam dunia pendidikan pun memiliki sistem seperti yang demikian.

Mau tidak mau, karena sudah terlanjur memberikan modal yang besar, maka hasilnya pun harusnya lebih besar dari modalnya. Selain itu, kadang adanya sistem bagi-bagi uang setelah uang turun juga menjadi kebiasaan.

Apakah korupsi adalah sebuah sistem?

Beberapa orang berpendapat bahwa korupsi terjadi karena sistem yang mengharuskan demikian. Misalnya, ketika bantuan turun harus ada pembagian bagian tertentu kepada para petinggi. Hal inilah yang membuat berkurangnya dana yang turun ke sasaran.

Adanya sistem yang demikian terkadang justru yang dinantikan. Meski dianggap sebagai gaji tambahan, ada kalanya menjadi hal yang perlu dievaluasi.

Apakah korupsi adalah budaya?

Sikap orang Indonesia yang sering merasa tidak enak, terkadang justru menjadi sebuah bumerang. Apalagi jika berkaitan dengan meminta bantuan orang lain. Secara tidak langsung akan memberi sesuatu ataupun buah tangan kepada yang memberi.

Gratifikasi, istilahnya. Aktivitas yang termasuk pada jenis korupsi ini memang lebih banyak dilakukan. Bukan karena ingin menyogok, tapi lebih karena ungkapan tidak enak hati atau rasa ingin terima kasih.

Saya teringat saat akan lulus kuliah. Biasanya kakak tingkat akan memberi beberapa bingkisan kepada dosen. Saya sudah diingatkan dari tim skripsi untuk tidak perlu memberikan bingkisan pada dosen. Sebagai anak kos, tentunya saya bersorak gembira karena tak perlu menyisihkan uang lagi.

Bagaimana cara mencegah korupsi?

Pada dasarnya untuk mencegah tindak korupsi harus dilakukan mulai dari diri sendiri. Pendidikan karakter harus ditanamkan sejak anak masih berusia dini. Salah satunya adalah dengan mengajarkan kejujuran pada anak, seperti sikap yang ditujukan oleh Buya Hamka.

Mengajarkan kejujuran bisa dilakukan dengan berbagai cara. Paling efektifnya adalah dengan cara memberikan teladan kepada anak. Sebaiknya, orangtua tidak berbicara bohong pada anak. Jika terdapat hal yang tidak menjadi ekspektasi anak, sebaiknya orangtua berbicara jujur pada anak.

Selain itu, membacakan buku kisah teladan juga bisa membantu anak lebih berkarakter. Kita bisa membacakan kisah Rasul dan shahabat ataupun dengan membacakan dongeng untuk diambil ibrahnya.

Pada dasarnya, korupsi bisa dicegah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Sumber:
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200123164232-12-468074/tii-skor-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-naik-jadi-40
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-membaik

Artikel ini diikutsertakan minggu tema komunitas Indonesia Content Creator.

9 komentar

  1. Kalo ngomongin korupsi memang nggak akan ada habisnya ya mbak. Gerem sih kenapa bisa selalu ada aja berita korupsi.

    Gimana kesengsaraan rakyat mau hilang, kalo bantuan aja ikut di tilep, Naudzubillah.. Orang Indonesia mah kebanyakan gitu, rasa "nggak enakkan"nya tinggi banget, jadi susah. Intinya tergantung pribadi masing-masing, kalo memang nggak takut dosa, ah sudahlah :(

    Semoga diri kita sendiri dan orang-orang sekitar bisa terhindar dari berbagai macam jenis korupsi ya mbak, aamiin..

    BalasHapus
  2. Aku pun pernah bersorak gembira saat biasanya kating-kating ngasih snack, kue, pokoknya hidangan saat sidang skripsi tapi budaya itu pas mas aku di hapuskan karena katanya sih yang paling ngasih suguhan terenak, nilainya pun akan lebih baik. Katanya sih huhu

    BalasHapus
  3. Ngomongin korupsi kayaknya di Indonesia gak ada habisnya, tiap tahun ada mulu. Ya menurut saya salah satu upaya meminimalisir bibit-bibit korupsi adalah dengan menanamkan kejujuran sejak dini :)

    BalasHapus
  4. Praktek korupsi di Indonesia sendiri sudah muncul dari jaman orde lama. Salah satu cara memberantas korupsi yang kaya penyakit kanker ini adalah transparansi pemerintah dan kebijakan kebijakan terkait dengan keuangan. Pada prakteknya sendiri di pemerintahan ada dua kubu, kubu korupsi dan kubu anti korupsi. Semoga generasi mendatang bisa membabat tuntas korupsi ini.

    BalasHapus
  5. Sikap tidak enakan itu sih yang masih sering terasa. Apalagi kadang menganggapnya sebagai hadiah aja gitu ya, misalnya kenang-kenangan untuk guru sekolah ketika sudah lulus, karena kan mungkin akan jarang ketemu lagi. Namun, ada juga yang menganggap ini sebagai bentuk gratifikasi.

    BalasHapus
  6. Kadang untuk membasmi korupsi menjadi orang jujur saja tidak cukup karena ada budaya ga enakan di Indonesia, jadi selain jujur kita juga harus mendidik anak dengan karakter tegas, dan berani melawan ketimpangan.

    BalasHapus
  7. Setuju bgt, pendidikan karakter memang harus diajarkan sejak dini. Jangan cuman ngejar jadi juara, tapi nggak jujur. Nyontek jangan dianggap hal wajar :)

    BalasHapus
  8. nah korupsi sejak dini tuh nyontek huhu. ampuni aku ya Allah. ngomongin korupsi mbak, selain karena ada niat pelaku jg karena ad akesempatan ya

    BalasHapus
  9. kembali lagi ya teh, semua kejujuran berawal dari pendidikan sejak usia dini oleh orangtuanya. karena memang itu dasar nya. tetapi setelah dewasa terkadang kejujuran juga terkikis oleh lingkungan dan ambisi, nah di sinilah peranan pendidikan agama penting.

    BalasHapus