Stop Kekerasan Lisan Berbasis Gender di Lingkungan Kampus

 



Kekerasan gender bukanlah hal baru yang terjadi di sekitar kita. Ketika kuliah dulu, kebetulan saya masuk di jurusan yang lebih banyak mahasiswa perempuan dibanding mahasiswa laki-laki. Kondisi ini membuat beberapa teman laki-laki kerap menjadi bahan perundungan teman yang lain saat bercanda. Pun ketika saya sekarang mengajar di jurusan yang juga kebanyakan mahasiswa perempuan dibandingkan mahasiswa laki-laki, ternyata kejadian yang dulu saya alami, kini saya alami kembali, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda.


Kekerasan berbasis gender sendiri banyak sekali jenisnya. Tidak hanya kekerasan seksual saja yang bisa dialami oleh para mahasiswa. Tetapi juga kekerasan fisik, seperti dipukuli dan juga kekerasan lisan, seperti dimarahi dan diejek teman.


Adakah dampak kekerasan lisan berbasis gender di lingkungan kampus?


Dari kejadian yang pernah saya lihat sendiri di teman saya, ternyata kekerasan berbasis gender di lingkungan kampus ini sangat berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Hal yang paling mencolok terlihat pada mahasiswa yang mengalami perundungan secara lisan ini biasanya akan sulit untuk bersosialisasi dan memiliki rasa percaya diri yang rendah.


Rasa percaya diri mahasiswa ini biasanya terlihat dari cara presentasi yang cenderung tidak berani menatap mata teman-temannya. Selain itu, biasanya akan timbul rasa kurang bergairah dalam belajar jika mendapatkan tugas kelompok.


Bagaimana peran dosen dalam mengatasi kekerasan lisan berbasis gender di kampus?


Kekerasan secara lisan mungkin banyak dianggap sepele. Akan tetapi, jika hal ini terus dibiarkan akan membuat mahasiswa menjadi down dan malas untuk berangkat kuliah. Sebagai dosen, tentunya jika ada kejadian seperti ini perlu diminimalisir. Nah, sebagai antisipasinya, berikut cara yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan lisan di lingkungan kampus.


  1. Adanya aturan mengenai masa orientasi mahasiswa baru


Masa orientasi mahasiswa baru bukanlah ajang perploncoan untuk adik tingkat. Tetapi, masa orientasi mahasiswa baru sebaiknya digunakan untuk saling mengenal antar civitas akademika dan juga pengenalan lingkungan kampus.


Tentunya, dosen berperan dalam mengarahkan mahasiswa agar membuat program masa orientasi ini menjadi menyenangkan. Jika dulu masa orientasi lebih banyak diwarnai dengan mahasiswa tingkat atas membentak mahasiswa baru, sekarang ada baiknya kampus membuat aturan tetap untuk lebih ramah dengan mahasiswa baru.


  1. Saat mengajar, dosen memberikan aturan mengikuti perkuliahan


Tentunya, ketika perkuliahan akan dimulai tiap semester harus ada aturan yang ditetapkan dosen agar perkuliahan berjalan dengan lancar. Tak hanya tentang absensi dan kriteria penilaian saja yang perlu ditekankan. Tetapi juga adab saat berada di kelas untuk mengikuti perkuliahan perlu dijelaskan kepada mahasiswa. Misalnya seperti tidak diperbolehkan berbicara ketika perkuliahan berlangsung.


  1. Tidak menjadikan mahasiswa contoh kasus tertentu


Dalam perkuliahan agar mahasiswa mudah menangkap maksud dari penjelasan dosen, membuatkan contoh menjadi cara yang efektif. Hanya saja, hal ini terkadang menjadi bumerang, karena bisa saja menjadi bahan perundungan antar mahasiswa.


Agar hal ini tidak terjadi, ada baiknya dosen tidak memberikan contoh nama mahasiswa langsung ketika mengajar. Sebagai alternatifnya, bisa menggunakan si A ataupun si fulan.


Kekerasan lisan berbasis gender di lingkungan kampus memang tidak sepenuhnya bisa dicegah oleh para dosen ataupun civitas akademika lain. Tetapi, hal ini bisa diminimalisir, karena dampak yang terjadi bisa membuat mahasiswa menjadi malas kuliah.



1 komentar

  1. Lingkungan juga harus mendukung yaa mbak. Tidak ada lagi diskriminasi thd gender juga pntg. Edukasi ttg kesetaraan dan humanity harus terus digaungkan meski nyatanya itu nilai umum tp bnyk yg lupa

    BalasHapus