Mengapa Saya Harus Menjadi Fasilitator?

Menjadi fasilitator merupakan sebuah tantangan bagi saya. Dimana saat menjadi fasilitator, kita harus siap mental dan ilmunya. Meski bagi saya menjadi fasilitator adalah sebuah jembatan ilmu. 

Sama-sama menjadi murid,
Sama-sama menjadi guru

Fasilitator merupakan salah satu pembimbing kelompok, dimana banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari keanekaragaman karakter individu dalam sebuah kelompok yang berbaur menjadi satu. Di sinilah peran fasilitator untuk membimbing dan mengarahkan agar terjadi kesepakatan dan kepemahaman bersama.

Di dalam sebuah kelompok yang beranekaragam individu pastilah ditemukan berbagai karakter, mulai dari yang sangat aktif sampai yang hanya aktif jika disentil saja. Meningkatkan partisipasi peserta merupakan peran dari seorang fasilitator. 

Menjadi fasilitator tak hanya menjawab pertanyaan dari peserta. Menjadi seorang fasilitator pun harus memotivasi peserta adgar ruhnya dalam kelompok tidak hilang. Membuat suasana kelompok menjadi hangat dan timbul rasa persaudaraan meski bukan saudara sekandung.

Saat menjadi mahasiswa dulu, saya pernah bertugas sebagai fasilitator untuk menemukan sebuah masalah kesehatan yang terjadi di sebuah desa. Siap tidak siap saat itu hanya ada dukungan dari teman, dan semuanya pun membantu dengan menuliskan apa saja yang perlu saya sampaikan dalam proses fasilitasi.

Kalau sekarang harus diminta menjadi fasilitator, saya akan jawab, "SAYA SIAP". Karena menjadi fasilitator merupakan salah satu cara untuk memperdalam ilmu. Dimana ada ilmu baru yang akan didapatkan, mulai dafi ilmu tentang mengenali karakter hingga memperdalam ilmu yang sudah pernah kita dapat sebelumnya.

Dengan adanya fasilitator akan terbentuk suatu komunitas Ibu Profesional. Dimana jika ingin menjadi member ibu profesional harus melewati tahap kelas matrikulasi. Dalam kelas matrikulasi ada fasilitator yang mendampingi peserta dalam menuntut ilmu. Yang mana peserta yang lulus akan menjadi member ibu profesinal kota/daerah yang akan menentukan keberlangsungan komunitas ibu profesional di kota/daerah.

Tentang strategi dan rencana fasilitasi kelas, pertama saya harus memperkenalkan diri dan mengenal seluruh peserta kelas.

Karena ada pepatah,
Tak kenal, maka tak sayang

Setelah mengenal, saya akan mencoba menghangatkan kelas agar suasana belajar menjadi lebih mengasyikkan sehingga peserta bisa termotivasi dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

Kalau dulunya saja bertindak sebagai fasilitator langsung berhadapan dengan individu lain. Bedanya dengan sekarang adalah berhadapan dengan layar vitual, dimana karakter asli bisa saja terselubung. Ini salah satu kekhawatiran saja tidak bisa berbaur dan terjadi kesalahpahaman proses fasilitasi kelas. Selain itu, masalah gadget  time dan kekurang pedean saya dalam menanggapi pertanyaan peserta menjadi kekhawatiran saya berikutnya. Ya, karena ilmu saya di ibu profesional ini belum terlalu banyak mengharuskan saya harus lebih sering terlibat dalam kegiatan IIP dan lebih banyak membaca.



Awal-awal mengikuti training fasilitator ini saya agak ngos-ngosan. Dimana ada 13 materi yang siap dikunyah dalam waktu 2 minggu ditambah lagi saya harus tandem di kelas matrikulasi kordi membuat saya agak sedikit kelimpungan dalam mencerna materi yang diberikan. Belum ada pengalaman menjadi fasilitator di ibu profesional membuat saya sedikit minder dengan teman yang lain. Tapi itu tak bertahan lama, saya harus bangkit dan mulai mengunyah materi yang telah diberikan. Meski agak kurang aktif di grup dan selalu telat dalam mengunyah, saya harus menjadikan hasil kunyahan saya ini benar-benar masuk dalam diri saya sehingga bisa dipraktekkan saat terjun memfasilitasi kelas.

Ditulis di Jepara, 8 Desember 2017
Oleh Alif Kiky Listiyati berasal dari Jepara, sekarang masih menjabat sebagai admin grup WAG yang insyaa Allah akan menjabat sebagai manager online IIP Jepara

[REVIEW] OLAY TOTAL EFFECT DAY CREAM

Ini postingan pertama aku tentang skincare. Yeeyyy..

Masih newbie banget tentang review produk. So check this out...

Di usia saya yang sudah mencapai 25 tahun. Saya berharap tidak cepat mengalami penuaan dini. Paling ribet nanti kalau sudah berkerut dan kulitnya mulai kendur. Maka dari itu, setelah googling saya memantapkan diri untuk membeli OLAY TOTAL EFFECT DAY CREAM. Kala itu saya membeli di sebuah koperasi serba usaha di dekat rumah. Dan karena masih minim llpengetahuan tentang skincare, saya mencoba membeli yang ukuran paling kecil, 8gram. Waktu itu, saya membeli dengan harga hampir 30ribu. Yang menurut saya lumayan mahal untuk ukuran yang amat kecil.


Olay total effect ini diklaim bisa mengatasi 7 tanda penuaan, memgurangi garis halus dan timbulnya kerutan, dan menyamarkan pori-pori besar. Selain itu, krim ini juga sudah dilengkapi dengan SPF 15. Meski setelah pakai krim ini saya pun tetap memakai sunscreen.

Setelah satu minggu pemakaian, saya merasakan noda bekas jerawat saya semakin memudar. Lumayan cepat untuk krim anti aging yang ternyata efek mencerahkan juga dapat. Hanya saja untuk menyamarkan pori-pori yang besar belum aku rasakan. Mungkin harus lebih intense lagi pemakaiannya. Dan karena aku baru pakai, muncul beruntusan di pipi sebelah kiri, dan saya curiga karena pemakaian krim ini. Hiks..

Tekstur krimnya ringan, tidak bikin berat di wajah. Dan tidak menimbulkan whitecase.

Setelah di apply, seperti ini krimnya. Menyatu dengan warna kulit. Dan gampang menyerap dengan kulit.


PROS:
1. Tidak timbul whitecase
2. Mudah menyerap
3. Ringan
4. Noda bekas jerawat cepat hilang

CONS:
1. Lumayan mahal untuk ukuran 8gr
2. SPF terlalu rendah, harus pakai sunblock/sunscreen setelahnya
3. Efek anti aging tidak langsung terasa

Recomended: YES

Repurchase: No, bikin beruntusan di saya

Score: 3,5/5

Membangun Komunitas, Membangun Peradaban (NHW#10_matriks kordi)

Perkenalkan, saya Alif Kiky Listiyati. Sekarang menjadi member ibu profesional wilayah Jepara.

Sekarang ini saya menjabat sebagai admin WAG ibu profesional wilayah Jepara. WAG IIP Jepara terbagi menjadi dua, yaitu grup member dan grup foundation. Meski wilayahnya ada di kabupaten Jepara tetapi, member dan anggota foundation lain seperti dari Kudus, Pati, dan Rembang kumpul menjadi satu dalam naungan IIP Jepara.

Di dalam komunitas ini, banyak sekali latar belakang member dan anggota Jepara. Hingga saat disatukan pun tidak bisa sepemikiran utuh. Meski begitu, kami tetap menjunjung tinggi CoC IIP dari pusat. Jika terdapat satu anggota yang menyeleweng tetap diberi instruksi dan arahan sesuai dengan CoC.

Karena banyak wilayah jadi satu di IIP Jepara. Otomatis dari kabupaten lain yang terhambat jarak dan waktu untuk mengikuti kegiatan offline, memanfaatkan WAG ini sebagai salah satu media dalam mempererat silaturahim, brainstorming, dan sarana menuntut ilmu. Dengan catatan masih dalam konteks ilmu ibu profesional.

Tantangan sebagai admin WAG banyak yang saya alami. Misalnya, dalam menyapa member dan brainstorming masih terkendala waktu yang kurang pas. Ataupun banyak yang menjadi silent reader sebelum CoC diterapkan. Meski setelah disosialisasikan CoC masih ada beberapa yang silent reader, terkadang kami memaklumi karena kesibukan para member yang berbeda-beda.

Dari hasil temu bakat (st30), potensi saya adalah seorang analis, komunikator, creator, designer, evaluator, jurnalis, dan strategist. Dari potensi bakat yang saya temukan, saya mensyukuri apapun itu pemberian Allah. Memanfaatkan kemampuan saya untuk kebaikan komunitas. Mencoba menggali lebih dalam tentang bakat saya dan memaksimalkan untuk komunitas dan peradaban.

Dari bakat tersebut saya menggali untuk lebih interaktif dan berkomunikasi produktif dengan member WAG. Membuat tulisan penyemangat ataupun hanya membuka grup di pagi hari.

Harapan saya untuk IIP Jepara adalah semakin bertambahnya member, baik member IIP ataupun member foundation. Sehingga, saya dapat lebih banyak mengenali karakter orang.

Untuk ke depan, semoga saya lebih baik lagi dalam menjadi admin WAG. Konsisten, adalah kunci utama membangun komunitas ini. Lebih mengakrabkan dengan member dan membuat hangat WAG.

FOR THINGS TO CHANGE, I MUST CHANGE FIRST



Menstimulasi anak gemar membaca tidak harus menunggu anak bisa membaca. Stimulasi ini bisa dilakukan saat anak masih dalam kandungan. Karena dalam ketrampilan pertama yang harus dimiliki anak adalah kemampuan mendengarkan. Stimulasi ini pun harus dilakukan sampai anak lahir.

Kali ini, tantangan di game level 5 adalah For Things to Change, I Must Change First.
Bahwa untuk bisa mengubah dunia. Ubahlah diri sendiri yaitu dengan banyak-banyak baca. Seperti kita tahu bahwa buku adalah jendela dunia. Dimana banyak hal yang belum mampu kita dapatkan di dunia secara riil, dan dengan membaca kita dapat mengetahuinya.

Meski dalam 17 hari ini agak loyo karena kondisi badan tak fit. Adek mengkhatamkan 26 buku. Dengan pengulangan buku di hari selanjutnya. Terkadang memang untuk membaca buku yang ringan bisa sampai 3 buku sehari. Tapi untuk buku yang berat harus berhari-hari. Apalagi baca bukunya kalau disambi belajar. Harus diulang dan diulang lagi.

Dan ini pohonnya, banyak daun yang berguguran karena kena angin 😀


#aliranrasa
#gamelevel5
#kuliahbunsayiip
#ForThingsToChangeIMustChangeFirst

Tahu Bulat Sebabkan Kebakaran SPBU


Rabu malam, 8 November 2017 dikabarkan terjadi sebuah kebakaran di SPBU Atlantis desa Sengonbugel kecamatan Mayong. Namun, hal ini ditepis oleh kapolsek Mayong, AKP Karman. Beliau mengadakan penyidikan kebenaran kabar dari dunia maya tersebut. Menurutnya, memang benar terjadi kebakaran di SPBU Atlantis Mayong, tapi hanya membakar terpal bagian atas mobil penjual tahu bulat.

Kronologisnya, mobil penjual tahu bulat sedang melakukan pengisian bahan bakar berjenis pertalite. Saat bahan bakar diisikan ke mobil, tiba-tiba api menyala membakar terpal atas mobil. Dengan sigap, petugas keamanan berhasil memadamkan api. Diduga, api berasal karena kompor yang digunakan untuk menggoreng tahu bulat masih menyala. Dengan cepat, saat bahan bakar diisikan ke mobil uapnya menyebar membakar terpal mobil.


Mengikat Ilmu dengan Menulis


Menulis merupakan salah satu sarana pengikat ilmu yang telah kita dapat. Ilmu yang yang telah ditulis dapat dikenang dan diwariskan kepada anak dan cucu. Sedangkan ilmu yang didapat tanpa ditulis mudah hilang seketika.

Otak manusia memiliki keterbatasan memori. Seiring bertambahnya umur, kemampuan menyimpan memori dalam otak menjadi semakin berkurang. Untuk mengantisipasi agar ilmu yang didapat saat tua tidak hilang dan lepas dari ingatan adalah dengan menulis.

Menulis ilmu yang telah didapat tidak harus saklek. Boleh ditulis sesuai yang paling mudah kita mengerti. Tak harus dalam bentuk narasi. Menulis ilmu bisa dengan gambar (misal, doodle) ataupun menggunakan diagram. Pilih sekiranya yang menurut kita bisa dan paling mudah kita mengerti, syukur-syukur kalau orang lain pun mudah mengerti apa yang kita tulis.

Tulislah ilmu yang kita dapat dengan rasa bahagia. Menulis dengan rasa bahagia lebih mudah terserap ke dalam otak. Sehingga, ilmu yang kita dapat melalui audio dan kita tuliskan kembali akan jauh lebih tersimpan dalam memori otak dibanding dengan ilmu yang tidak kita tulis.

Menemukan pola menulis sesuai apa yang kita mengerti menjadi sebuah latihan terus menerus. Kita gali apa yang kita miliki dan kita minati. Latih kemampuan menulis kita. Hingga kemampuan menulis kita menjadi semakin lancar.

Tentang Menulis dan ODOP

Menulis bagi saya adalah sebagai keterikatan. Dimana saat ada ilmu baru yang saya dapatkan harus segera ditulis. Karena ilmu tanpa ditulis bagai angin lalu. Terhempas dan hilang, bahkan menimbulkan bahaya.

Seringkali yang saya tulis adalah tulisan untuk melampiaskan emosi, tak memperhatikan tata kalimat, tanda baca, alir, dan aturan dalam menulis. Bahkan seringkali menggunakan kata-kata tak baku.

Mengingat pelajaran Bahasa Indonesia, yang terakhir saya dapatkan sekitar 8 tahun yang lalu. Dimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik harus sesuai aturan, dalam hal ini Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan menggunakan kata baku, seperti yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Baru mulai sekarang ini, saya kembali membuka wawasan saya tentang menulis yang baik. Bukan sekedar menulis untuk melampiaskan emosi. Harus ada kata bermakna dan saya agak kesulitan menemukan ide tulisan setiap harinya.

Dari ODOP, saya belajar kembali bagaimana aturan menulis yang baik, harus tahu kata bakunya. Dan lebih dari itu, ada materi yang belum saya dapatkan sebelumnya, terutama untuk materi fiksi. Dulu kalau diminta menulis cerita fiksi, saya lebih baik angkat tangan. Tapi alhamdulillah, sekarang malah menikmati menulis cerita fiksi.

Bagaimanapun, mempunyai ilmu untuk menulis harus sering-sering dipraktikkan.

Karena kunci menulis adalah latihan, latihan, dan latihan.